Buku cerita anak
Sahabat yang senang bersamamu
Seekor anak anjing melompat dan mengibas-hibaskan ekornya ketika pemiliknya pulang.Anak anjing itu sangat senang melihat orang yang ia cintai
Tuhan merasakan hal seperti itu terhadap dirimu bahkan lebih dari itu! Kamu membuat Tuhan merasa senang karena kamu adalah KAMU! Tuhan sangat senang melihatmu dan juga senang melewatkan waktu bersamamu.
Kadang-kadang saat kamu duduk diam dengan mata tertutup dan berpikir tentang Tuhan, kamu dapat merasakan bahwa Tuhan sedang Tersenyum kepadamu. Bersama Sahabat baikmu akan membuat hatimu gembira, dan Sahabat baikmu itu merasakan hal yang sama terhadap dirimu.
Sahabat yang senang mengenal sahabatnya
Ketika kamu mengenal sahabatmu dengan lebih baik, kamu akan menemukan berbagai macam hal yang menakjubkan. Kamu dapat mengenal Tuhan, Sahabatmu, dengan lebih baik, dengan cara melihat semua hal indah yang telah diciptakan dan dilakukan Tuhan.
Lihatlah motif pada sayap kupu-kupu. Tuhan itu seniman ! Pikirkan bagaimana caranya lumba-lumba dapat "saling berbicara" di dalam air. Tuhan itu jenius ! Tuhan mengatur semua binatang dan alam semesta ini. Tuhan sangat luar biasa !
Tuhan - sahabat baikmu - adalah si Jenius yang Luar Biasa, Perencana, Pemikir yang menakjubkan, Penguasa yang Mengagumkan, Superhero, Pemilik Alam Semesta ! Sungguh-sungguh Sahabat yang hebat !
Kamu bisa menjadi dirimu sendiri
Bersama seorang teman sejati , kamu bebas untuk menjadi dirimu sendiri. Seperti itulah jika kamu bersama Tuhan. Kamu tidak harus "berpura-pura" supaya Tuhan menyukaimu. Bagi Tuhan, kamu adalah seorang "binatang".
Mungkin kamu tidak pandai bermain bola, tapi bagi Tuhan itu tidak apa-apa. Mungkin kamu merasa kulitmu mempunyai bintik-bintik terlalu banyak, jangan khawatir. Tuhan tetap mengganggap kamu cantik atau tampan. Mungkin kamu sering merasa tidak nyaman, maka Tuhan dapat menghilangkan rasa tidak nyaman itu.
Lakukan yang terbaik untuk menjadi dirimu sendiri, dan kamu akan selalu baik di hadapan Tuhan.
Sahabat baik selamanya
Setiap orang mempunyai sifat-sifat baik Tuhan dalam diri masing-masing.Sifat-sifat baik ini membuat kita ingin dekat dengan Tuhan dan berusaha menjadi mirip dengan Tuhan.Ketika kamu berbuat baik terhadap teman-temanmu, kamu telah menunjukkan “sifat baik Tuhan” yang ada dalam hatimu. Ketika kamu menikmati makanan, bersahabat dengan orang lain, dan bersenang-senang saat piknik, kamu juga menikmati “sifat baik Tuhan” lewat benda-benda yang diciptakan-Nya.Ingatlah: Tuhan selalu menjagamu, tepat disampingmu, di dalam hatimu, dan disekitarmu. Tuhan selalu bersamamu dan menjadi Sahabat Baikmu selamanya .
MISTERI APEL
Sella namanya. Ia sangat suka apel. Malah, dia memiliki sebatang pohon apel yang ranum. Batangnya kokoh dan tebal. Ia selalu menantikan musim panen apel, di mana pohon apelnya bertambah rimbun akan buah-buah apel yang merah, lezat, dan segar.
Hari ini, Sella terburuburu memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu jati dan tingginya hanya sebahunya. Lalu, ia menatap pohon apelnya dengan senyuman lebar. Ya, waktunya pesta apel malam ini!
Hari ini, Jum’at, adalah awal musim apel yang amat dinantikan Sella. Sella segera memasuki pintu dapur dan menyapa Ibunya
Kok, buru-buru gitu, Sella?” tanya Ibu lembut. Sella segera masuk ke dalam kamarnya dan mengganti seragamnya dengan baju lengan panjang sesiku warna biru cerah dan celana jins selutut dengan bordir di pinggirannya.
“Ayo pesta apel, Bu!” sahut Sella sembari membawa keranjang rotan kecil. Ia memetik lima buah apel. Setelah dihitungnya dengan ekstra teliti, buah apel di pohonnya ada 26 buah. Setelah dipetiknya lima, tentu saja apelnya tinggal 21 buah! Sella sudah tidak sabar untuk mengunyah pai apel dan meneguk jus apel yang super duper lezatnya.
Sella duduk di bangku kayu panjang yang menghadap kebunnya. Kebun mini yang isinya : sebatang pohon apel, deretan bunga kamboja jepang, dua pot bunga tulip, dan lima jemani yang harganya masih membumbung tinggi. Sella menggigit apelnya. Hmm... lezat! pikirnya.
“Sella, kok makan apel, sih. Makan dulu, dong. Ibu sudah siapkan cap cay kesukaanmu. Terus ada telur orak arik juga! Favoritmu kan, wortel yang diiris tipis-tipis,” panggil Ibu dari dapur yang jaraknya dekat.
“Oke, Bu!” Sella segera membawa keranjang rotannya ke dalam rumah. Ibu memasukkan apel yang dipetik Sella ke dalam kulkas. Sella duduk di kursi meja makan menghadap piring berisi nasi dengan lauk telur orak-arik yang menggiurkan.
Sella makan dengan lahap. Setelah itu, ia membaca buku yang tadi diajarkan dan belajar untuk pelajaran esok. Setelah mengerjakan PR-nya, Sella mandi, sholat, lalu menonton teve sampai adzan magrib berkumandang.
Esoknya, Sella bersiap-siap. Ia mengecek tasnya, kalau-kalau ada yang lupa. Ibu menyiapkan sarapan dengan lauk ayam goreng, sayur sop, dan semangkuk kecil sambal terasi. Sella makan dengan lahap, lalu menyikat gigi sebentar dan mengenakan kaus kaki dan sepatunya.
“Lho, kok, buah apelku tinggal 15? Bukankah kemarin 21?” gumamnya. “Ibu, Ayah, apakah Ibu atau Ayah memetik enam buah apelku?”
“Tidak. Coba teliti lagi, atau hanya halusinasimu saja. Kamu kadang kurang teliti!” kata Ibu.
Sella bergidik ketakutan. “Apa yang mencuri apelku itu hantu, ya?”
“Hush! Tidak ada yang namanya hantu. Mungkin bukan hantu yang mencuri, tapi anak-anak nakal. Pasti suatu hari mereka minta maaf padamu,” jawab Ibu tegas.
Selama di sekolah, Sella merasa tidak enak. Ia terus memikirkan apelnya. Kalau hanya sebuah tidak apa-apa. Tapi, ini enam, pikirnya dengan jantung berdebar kencang.
Malamnya, Sella sengaja ingin tidur lebih malam, karena ini malam Minggu. Ayah dan Ibu menonton film di tv. Sella membuka sedikit gorden jendela di kamarnya. Lalu, ia melihat kira-kira sepuluh ekor burung sedang mendekati pohon apelnya. Burung-burung itu sangat cantik. Lalu, mereka memakan buah apel Sella. Sella membelalak melihatnya.
Ternyata yang memakan buah apelku itu para burung, gumam Sella. Ayah mengintip Sella. Sebenarnya Ayah dan Ibu ingin menghadiahkan burung untuk Sella karena ia telah masuk tiga besar di kelas. Lalu, Ayah masuk ke garasi dan mengambil kotak yang tertutup kain lusuh warna putih yang sudah pudar.
“Sella... KEJUTAN!!!” seru Ayah dan Ibu mengejutkan Sella. Sella menoleh. Lalu, Ayah memberikan kotak itu pada Sella. Sella takut membukanya.
“Cuit! Cuit!” Sella menatap takjub apa isi kotak berwarna hijau itu. Seekor burung parkit berwarna hijau yang sangat manis.
“Terima kasih, Ayah, Ibu!” seru Sella gembira.
Surat Misterius
“Enak ya cokelatnya? Tapi lebih enak lagi kalau kamu
membelinya. Bukan mengambilnya dari Toko Tujuh milik Pak Rahman.”
Dodi semakin terkejut. Ini adalah surat kelima yang ditemuinya di dalam tas
sekolahnya. Seperti keempat surat sebelumnya, surat ini berisi perbuatan nakal
yang dilakukannya. Tadi siang, dia mengendap-endap masuk toko Pak Rahman dan
mencuri sebatang cokelat kesukaannya. Iseng betul sih si penulis surat
misterius ini. Misterius? Ya, karena tidak ada nama si penulis di surat
tersebut. “Tapi kok dia bisa tahu apa yang kulakukan ya?”, pikir Dodi.
Dibacanya lagi kelanjutan surat itu, “Ingat. Ini peringatan terakhir. Aku
tahu setelah ini kamu mau mencuri mangga Pak Ikhsan kan. Tapi kali ini, kamu
akan merasakan akibatnya”. Dia teringat isi surat keempat yang berisi
ancaman juga: “Kalau naik buskota bayar dong, jangan maunya gratisan terus.
Awas kalau kamu berbuat tidak jujur sekali lagi.” Dodi mengerutkan dahi.
Meskipun dia heran karena si penulis surat mengetahui akal bulusnya mengelabui
kondektur buskota, dia tidak takut dengan ancaman itu. Toh tidak ada apapun
yang terjadi setelah dia mencuri cokelat tadi siang. “Apanya yang awas”, pikir
Dodi.
Pertama kali dia memperoleh surat misterius adalah ketika dia mengambil sepeda
Anto tanpa memberitahu teman sekelasnya itu, kemudian meninggalkannya di
lapangan dalam keadaan rusak karena menabrak pagar. Kemudian menyusul surat
kedua yang ditemukannya di dalam tas sekolahnya sehari setelah dia mengambil
dompet Ayu di kelas saat istirahat. Semua surat tersebut menunjukkan bahwa si
penulis mengetahui segala gerak-geriknya, termasuk surat ketiga yang
diperolehnya setelah dia memecahkan lampu lalu lintas di perempatan dekat
rumahnya dengan katapel.
“Kalau begitu, si penulis surat itu pastilah orang yang aku kenal”, pikir Dodi.
Dia mencoba mengingat-ingat kepada siapa dia menceritakan semua kenakalannya
selama ini. Tidak mungkin si Iwan atau si Roni. Mereka bertiga adalah kawan
akrab sejak kecil, dan sama-sama suka menjahili orang lain. Kalau mereka yang
menulis surat itu, mereka sendiri juga akan ketakutan kalau ketahuan semua
perbuatan mereka dan menerima surat yang sama. Kemarin dia menyelidiki semua
orang yang menurutnya tahu perbuatannya, dan sepertinya tidak ada yang patut
dicurigainya menulis surat-surat tersebut. Surat tersebut ditulis menggunakan
mesin ketik, sehingga dia tidak dapat mengenali siapa penulisnya. “Jangan-jangan
Ibu yang membuat surat itu?”, pikir Dodi. Tapi ibunya yang sangat sabar itu
pasti akan menasehatinya dengan halus, bukan dengan cara seperti ini. Atau
Budi, kakaknya? Ah, dia kan sibuk dengan kelompok ilmiahnya di sekolah.
Dibacanya lagi surat tersebut. Dia tidak takut dengan ancaman yang tertulis di
dalam surat itu. “Jadi, malam ini akan kubuktikan bahwa surat ini tidak ada
artinya bagiku”, kata Dodi pada dirinya sendiri. Malam ini dia berniat untuk
mencuri mangga di rumah Pak Ikhsan. Dia merasa tertantang.
Malamnya, dengan mengendap-endap, Dodi memanjat pohon mangga setelah Pak Ikhsan
menutup jendela rumahnya. Dilihatnya banyak mangga yang matang tergantung di
dahan bagian atas. Dengan sigap dia memanjat pohon itu hingga mencapai dahan
paling atas. Ditariknya buah mangga ranum yang tergantung di ranting dekat
tangannya. “Hmmmm, harum”, bisiknya puas sambil membaui mangga tersebut dan
memasukkannya ke sebalik kaosnya. Beberapa mangga berhasil diambilnya dan baju
kaosnya semakin mengelembung.
Tiba-tiba terdengar dengus dari bawah. Dilihatnya seekor anjing hitam menengok
ke atas sambil menggeram. Ke arahnya!! Dodi panik, tetapi dia tidak berani
turun karena takut dikejar oleh anjing itu. Anjing itu terus menatapnya, tetapi
tidak menyalak sama sekali, hanya menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang
tajam. Dodi berusaha untuk diam agar anjing tersebut tidak melihatnya dan
segera pergi. Tetapi anjing itu malah merunduk kemudian berbaring tepat di
bawah pohon mangga yang dipanjatnya. Pelan-pelan Dodi berusaha berpindah dari
satu dahan ke dahan lain tetapi tidak ada jalan untuk turun tanpa melewati
anjing itu. Dilemparnya anjing itu dengan mangga yang dipetiknya, tetapi anjing
itu hanya mendengus pelan, tidak beranjak sama sekali. Dodi kemudian hanya bisa
duduk di atas dahan menunggu anjing itu pergi.
Menit berganti menit, beberapa jam telah berlalu, tetapi anjing itu masih duduk
terjaga. Hawa dingin menusuk kulitnya membuatnya menggigil. Tangannya mulai
lelah berpegangan pada batang pohon yang besar. Dodi mulai terisak menangis,
dia takut ayahnya akan memarahinya jika dia tidak segera pulang. Tetapi dia
terlalu takut untuk turun melewati anjing bergigi tajam itu. Dia menyesal
mengapa masih berani mencuri mangga Pak Ikhsan meskipun sudah diperingatkan
oleh surat itu. Dia juga menyesali kenakalan yang diperbuatnya selama ini.
“Andai saja aku tidak suka berbuat nakal”, pikirnya.
Tangisannya makin lama makin keras. Tiba-tiba pintu rumah Pak Ikhsan terbuka,
dan terdengar siulan ringan. Anjing itu berdiri lalu pergi. Dodi turun dengan
pelan, tetapi kakinya terlalu lemah untuk berdiri ketika sampai ke tanah. Dia
terduduk ketika dilihatnya tiga orang mendekat: Pak Ikhsan, Kak Budi, dan
ayahnya! Dodi merasa lemas melihatnya. Dia hanya bisa menebak-nebak siapakah si
penulis surat itu dan menebak-nebak pula hukuman apa yang bakal diterimanya
dari ayahnya.
Teng-teng-teng.
“Horeee.......”, teriak anak-anak demi mendengar bel tanda sekolah usai yang
dipukul oleh Pak Bon yang bertugas di SD Utama Malang.
“Nah, anak-anak, jangan lupa besok kalian harus membawa PR matematika yang
telah diberikan kemarin”, kata Pak Agung, guru kelas IV di SD tersebut.
“Mereka yang tidak mengerjakannya akan Bapak beri hukuman menyapu lantai”.
“Ya, Paaaak”, teriak anak-anak dengan serempak.
Dua anak bersungut-sungut sambil keluar ruangan kelas.
“Semua ini gara-gara Pak Haryo”, kata Bedu.
“Kalau Pak Haryo tidak pensiun minggu lalu, Pak Agung tidak akan menggantikannya
mengajar kita”, terusnya.
“Dan kita tidak akan sering mendapat PR”, sahut Dodit.
“Mentang-mentang baru lulus dari IKIP, seenaknya saja menyuruh kita mengerjakan
PR matematika yang sulit seperti ini”.
“Ya begitulah guru baru yang berlagak, Agung Prasetyo W.”, sahut Bedu lagi tak
mau kalah.
“Tapi tenang saja Dit, kita jalankan rencana kita seperti biasanya. Siapa ya
korban berikutnya?”
Belum sempat Dodit menjawabnya, terdengar langkah kecil mendekati mereka.
“Hai Bedu, hai Dodit, apa kabarnya. Eh, sori ya, aku terburu-buru nih, harus
segera pulang ke rumah”.
Bedu dan Dodit berpandangan penuh keheranan.
“Tidak biasanya tuh si Azhar menyapa kita”, bisik Dodit.
“Iya, biasanya dia malah selalu menghindar kalau kita dekati”, kata Bedu dengan
berbisik juga. Sejurus kemudian mereka berdua bertatapan mata dan tersenyum.
Dodit mengangguk melihat pandangan mata Bedu yang meminta persetujuan.
“Eh Azhar, jangan pergi dulu. Ke sini sebentar deh, kita kan sedang ada perlu
sama kamu”, kata Bedu.
“Iya kan Dit?”.
“Iya”, kata Dodit sambil memegang tangan Azhar.
“Kita mau minta tolong seperti biasanya deh, untuk besok pagi”.
Azhar menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya.
“Maksudmu PR matematika besok?”, tanya Azhar.
“Iya, seperti biasanya, kamu kerjakan PR tersebut. Lalu setelah selesai, kami
akan mencontohnya”, kata Bedu.
Melihat gelagat si Azhar yang ragu-ragu, si Dodit dengan cepat memegang kerah
Azhar dan memelototkan matanya.
“Awas, jangan coba-coba menolak ya. Sudah lama kamu tidak mengerjakan PR untuk
kami. Jadi sekarang giliranmu”.
“Tapi..... tapi, soal matematikanya kan sulit, aku juga tidak dapat
mengerjakannya”, kata Azhar agak gemetaran.
“Tidak dapat mengerjakan?”, kata Bedu.
“Iya betul, kan soalnya kan sulit” kata Azhar.
“Tidak mungkin”, bentak Bedu.
“PR matematika kali ini memang sulit sekali” ucap Azhar.
“Pokoknya kamu kerjakan dengan betul siang ini, malam nanti kami ke rumahmu
untuk menyalinnya”, ancam Dodit.
Azhar berpikir sejenak, kemudian katanya “Ah, aku punya ide. Bagaimana kalau
kita minta bantuan seseorang. Kebetulan Omku yang dari Jogja sedang ada di
sini, jadi kita bisa minta tolong dia untuk mengerjakan PR itu”.
Bedu dan Dodit berpandangan, mereka ganti ragu-ragu.
“Tenang deh, aku jamin Om Wid pasti dapat mengerjakan soal matematika sesulit
apapun. Dia kan kuliahnya di universitas ternama di Jogja” kata Azhar
menenangkan mereka.
Bedu dan Dodit berkata bersamaan, “OK, kami akan ke rumahmu jam 7 malam nanti”.
“Siiip, aku pulang dulu ya”, kata Azhar sambil berlari meninggalkan mereka
sambil tertawa-tawa.
Malamnya, hampir pukul tujuh, Bedu dan Dodit bersepeda berboncengan sambil
membawa tas mereka. Sampai di rumah Azhar, sebelum Dodit mengetuk pintu, Azhar
sudah keluar rumah sambil berkata.
“Ayo langsung masuk saja, Om Wid masih mandi, tapi sebentar lagi juga selesai”.
Dodit dan Bedu tampak bingung. Kedua anak ini memang terkenal sebagai anak
termalas di kelas IV SD Utama. Mereka tidak pernah mau belajar dengan
sungguh-sungguh. Jika ada PR, mereka memaksa murid-murid lain untuk
mengerjakannya dan kemudian mereka tinggal mencontohnya. Sudah beberapa kali
mereka memaksa Azhar untuk mengerjakan PR mereka, namun baru kali ini Azhar
tampak bersemangat.
Mereka bertiga lalu masuk ke ruang tengah, menaruh buku di atas meja, dan duduk
di atas kursi sambil berbisik-bisik.
“Betul nih, Ommu itu dapat mengerjakan PR matematika yang sulit itu”, tanya
Dodit.
Azhar dengan tegas menjawab, “Pasti deh, PR yang paling sulitpun Om Wid dapat
mengerjakannya. Dia kan jago matematika.”
“Soalnya, kalau kita tidak dapat mengerjakannya, besok pasti kita akan mendapat
hukuman dari Pak Agung”, kata Bedu yang menjadi tenang setelah mendengar
jawaban Azhar.
Seseorang masuk ke dalam ruang tengah.
“Perkenalkan, ini Om Wid, ahli matematika dari Jogja”, kata Azhar mengiringi
kedatangan orang itu.
“Hai, apa kabar Dodit dan Bedu”, sapa orang itu.
Merasa tidak asing dengan suara tersebut, Bedu dan Dodit terkejut mendengarnya.
Terlebih ketika mereka melihat wajah orang itu di bawah sinar lampu ruang
tengah.
“Pak....... Pak Agung”, kata mereka lirih, hampir tidak terdengar.
“Iya, perkenalkan namaku adalah Agung Prasetyo Widodo. Baru saja lulus dari
pendidikan Matematika di Jogja”.
“Lho, jadi kepanjangan dari W itu adalah Widodo”, pikir mereka tak percaya.
“Bapak dengar dari Azhar, keponakan saya, kalian memintanya untuk mengerjakan
PR yang Bapak berikan kemarin ya”. Dodit dan Bedu tidak menjawabnya, mulut
mereka terasa terkunci.
“Bapak dengar juga dari teman-teman kalian, kalian suka memaksa mereka untuk
mengerjakan PR lalu kalian mencontohnya, betulkah begitu?”, tanya Pak Agung
berwibawa.
“Bet...betul Pak”, kata Bedu dan Dodit, tak mampu mereka berbohong dan
menyangkal pertanyaan guru mereka.
“Apakah kalian tidak tahu bahwa perbuatan itu tidak baik. Tujuan Bapak memberi
kalian PR adalah agar kalian dapat berlatih mengerjakan soal dengan baik.
Dengan demikian kalian akan dapat dengan mudah memahami materi pelajaran yang
Bapak sampaikan”. Pak Agung menatap kedua anak yang dengan takutnya menundukkan
kepala. Takut bercampur dengan malu.
“PR yang Bapak berikan bukanlah soal yang tidak mungkin kalian kerjakan.
Sebagai seorang guru, Bapak selalu memberikan beban yang sesuai dengan
kemampuan kalian. Andaikata kalian mau berusaha, tentu kalian dapat
mengerjakannya sendiri. Azhar pun mampu mengerjakannya. Dia hanya Bapak suruh
untuk mendekati kalian dan berpura-pura tidak dapat mengerjakannya”.
Bedu dan Dodit saling berpandangan. “Jadi, Azhar.....”.
“Betul, Azhar hanya bersandiwara agar kalian terpancing kemari”.
“Pantas saja. Tadi siang Azhar mendekati kami. Itu kan aneh sekali. Biasanya
kalau ada PR, murid-murid lain selalu menghindar”, seru Bedu pada Dodit.
Pak Agung tertawa dan berkata “Kalian jangan menyalahkan Azhar. Dia bahkan
telah berjasa membawa kalian kemari sehingga Bapak dapat menasehati kalian.
Yang Bapak harapkan adalah kalian berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan
kalian tersebut. Mau kan, Dodit, Bedu?”
“Mau Pak”, jawab Dodit dan Bedu serentak dan tegas.
”Kami berjanji untuk tidak memaksa murid lain untuk mengerjakan PR kami. Kami
berjanji tidak akan mencontek PR lagi. Dan kami berjanji akan rajin belajar dan
mengerjakan PR sendiri”.
“Sebetulnya kalian boleh saja bertanya kepada orang lain jika kalian kesulitan
dalam mengerjakan PR. Namun itu hanya dilakukan setelah kalian berusaha dengan
sungguh-sungguh, dan bertanyapun hanya sekadarnya, tidak semuanya. Bapak yakin
kalian akan berhasil memperoleh prestasi apabila kalian bersungguh-sungguh dan
berusaha keras, tidak berbuat curang, serta jangan lupa berdoa”.
“Ya Pak”.
“Baiklah, sekarang kalian bertiga bersama-sama mengerjakan PR kalian. Ingat,
hukuman menyapu lantai kelas bagi yang tidak mengerjakan PR”.
“Siap Pak......ha..ha..ha”
Pecah tawa berderai dari ketiga anak itu. Pak Agung tersenyum dan merasa puas,
dia telah berhasil mengubah tabiat anak-anak itu kali ini. Apakah mereka sadar
untuk seterusnya? Semoga.
“Amanda, Amanda, tunggu aku sebentar”.
Sekolah baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara
seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari
mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.
“Begini, aku mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas
plastik kepada Amanda.
Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya, “Lho, kenapa
dikembalikan, kamu tidak suka sepatu ini ya?”
“Tidak, ee..., maksudku, aku suka sepatu itu.”
“Lantas mengapa sepatu ini kamu kembalikan kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”,
tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya aku sangat memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti,
dia ragu-ragu untuk meneruskannya.
“Tapi apa Nisa?”, tanya Amanda lagi.
Nisa teringat dengan kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari
sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di
dapur.
“Bu…Bu… lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk
masakannya di panci, “Lihat apanya?”
“Lihat ini dong Bu, bagus sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki
kirinya, menunjukkan sepatu baru yang sedang dipakainya.
Ibunya menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali sepatu yang kau
pakai. Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?”
“Ah Ibu, ini sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O begitu. Lho, jadi kamu sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah
terkumpul banyak uang tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak, uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini aku dapat dari
Amanda. Dia yang memberikannya untukku”
“Ah masak sih, kok bisa begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu
jangan suka meminta-minta lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.
“Tentu tidak dong Bu”, sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli
sepatu baru minggu lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu
Amanda menawarkannya kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu
Amanda memberikannya untukku”.
“Wah beruntung sekali kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”,
tanya ibu Nisa.
“Tentu saja Bu. Mana berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang
tuanya. Mereka baik sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya. Tapi aku yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap
memasak.
“Tidak mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan gembira”.
“Tunggu saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.
Benar. Ketika ayahnya pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa
langsung menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya
seperti perkiraan ibunya tadi.
“Apa? Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah
menerima pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan
tulis-menulis. Bulan lalu seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang
sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi
pemberian mereka kepada kita”
“Tapi Pak, Amanda memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela
diri.
“Betul. Bapak tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu
banyak. Mereka selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada
mereka? Tidak ada”, kata ayah Nisa dengan sedih.
“Mereka tidak mengharapkan balasan dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan
ayahnya.
“Tidak. Pokoknya sepatu tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa
dengan tegas. “Dan jangan menerima lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad
memang baik sekali, tetapi kita tidak bisa terus-menerus menerima bantuan dari
mereka tanpa kita bisa membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka,
mereka itu kaya sekali dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.
“Tapi Pak…”, Nisa mencoba menawar.
“Tidak ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus
dikembalikan besok”.
“Ya Pak’, kata Nisa menyerah.
Amanda memandang wajah Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya
mengembalikan sepatu pemberiannya tersebut.
“Ya sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu simpan saja,
tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur.
“Tidak bisa. Aku sudah janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata
Nisa.
“OK. Aku simpankan dulu ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah
lagi, kamu boleh mengambilnya lagi”
“Baiklah Amanda, kamu baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata
Nisa sambil memeluk sahabat karibnya itu.
Keesokan harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di
sekolah tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru
memberi pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak, ada kabar buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil
pagi tadi. Beliau terluka parah dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan
darah yang cukup banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan
darah bagi Pak Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”
Anak-anak segera berebut keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar
ruangan dan berlari menuju ke tempat ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya
masih duduk di atas becaknya menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya
dan menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.
Mereka berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di
mana ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya,
seorang kerabat Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah.
Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan
sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para
guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik.
“Terima kasih banyak, Pak Arif”, kata Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di
rumah sakit. “Berkat bantuan Pak Arif, saya bisa pulih kembali seperti
sediakala”.
“Ah tidak Pak, itu memang sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi
kan selama ini keluarga Pak Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami
mampu membalasnya”, kata ayah Nisa.
“Pak Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan semuanya
selama ini dengan ikhlas. Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan sering
membantu Amanda dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu
sudah cukup. Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”,
kata ayah Amanda sambil tersenyum.
“Sama-sama Pak, kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang tak
terhitungkan selama ini”, kata Pak Arif.
Nisa dan Amanda saling berpandangan dengan gembira mendengar percakapan kedua
orang tua mereka.
“Kalau begitu, boleh kan saya memberikan sepatu saya kepada Nisa”, tanya
Amanda.
“Tentu saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan
terima kasih kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah Nisa tidak mampu menolaknya.
“Horeeeeeeeeee”, teriak Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat
gembira.
“Ha….ha….ha….”, ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan
kedua anak itu.